Jumat, 21 November 2014

Janganlah Menjadi Gelas

Seorang guru menghampiri muridnya ketika jam pelajaran selesai. Ada salah seorang murid yang belakangan ini wajah nya selalu murung. "Kenapa kau selalu murung nak,,? bukankah banyak hal yang indah didunia ini..? Kemana perginya wajah bersyukur mu.." sang guru bertanya. "Pak dan.. belakangan ini hidupku penuh dengan masalah.. sulit bagi saya untuk tersenyum. Masalah datang seperti tak ada habisnya... " Jawabnya. Sang guru terkekeh. "Nak, ambil segelas air dan 2 genggam garam. Bawalah kemari biar ku perbaiki suasana hatimu.." Simurid pun beranjak pelan tanpa semangat. Ia laksanakan permintaan gurunya itu, lalu kembali lagi membawa gelas dan 2 genggam garam di tangannya. "Coba ambil segenggam garam dan masukan ke segelas air itu.." Kata sang guru. "Setelah itu coba kau minum airnya sedikit." Simurid pun melakukannya. Wajahnya pun kini meringis karena meminum air asin. "Bagai mana rasanya.?" Tanya sang guru. "Asin, dan perutku jadi mual," Jawab simurid dengan wajah yang masih meringis. Sang guru terkekeh - kekeh melihat wajah muridnya yang meringis keasinan. "Sekarang kau ikut aku.." Sang guru membawa muridnya ke danau didekat tempat mereka. "Ambil garam yang tersisa, dan tebarkan ke danau." Si murid menebarkan segenggam garam yang tersisa ke danau, tanpa bicara. Rasa asin dimulutnya belum hilang. Ia ingin meludahkan rasa asin dari mulutnya, tapi tak dilakukannya. Rasanya tak sopan meludah dihadapan guru, begitu pikirnya. "Sekarang kamu coba minum air danau itu.." Kata sang guru sambil menyari batu yang cukup datar untuk didudukinya, tepat dipinggir danau. Si murid menangkupkan kedua tangannya, mengambil air danau dan membawanya kemulutnya lalu meneguknya. Ketika air danau yang dingin dan segar mengalir ditenggorokannya, sang guru bertanya kepadanya. "Bagai mana rasanya..?" "Segar, segar sekali.." Kata si murid sambil mengelap mulutnya dengan punggung tangannya. Tentu saja, danau ini berasal dari aliran sumber air diatas sana. Dan airnya mengalir menjadi sungai kecil dibawah. Dan sudah pasti air danau ini juga menghilangkan rasa asin yang tersisa dimulutnya. "Terasakah rasa garam yang kau tebarkan tadi..?" "tidak sama sekali" Kata si murid sambil mengambil air dan meminumnya lagi. Sang guru hanya tersenyum memperhatikannya, membiarkan muridnya itu meminum air danau sampai puas. "Nak,," Kata sang guru setelah muridnya selesai minum. "Segala masalah dalam hidup itu seperti segenggam garam. Tidak kurang, tidak lebih. Hanya segenggam garam. Banyaknya masalah dan penderitaan yang kamu alami sepanjang kehidupanmu itu, sudah dikadar oleh Allah, sesuai untuk dirimu. Jumlah tetap, segitu - segitu saja, tidak berkurang dan tidak bertambah. Setiap manusia yang lahir kedunia pun demikian. Tidak ada satupun manusia, walaupun dia seorang nabi, yang bebas dari penderitaan dan masalah." Si murid terdiam, mendengarkan. "Tapi nak, 'rasa asin' dari penderitaan yang dialami itu sangat tergantung dari besarnya 'qalbu'(hati) yang menampungnya. Jadi nak, supaya tidak merasa menderita, berhentilah menjadi gelas. Jadikan qalbu dalam dadamu itu jadi sebesar danau." Kesimpulannya.. janganlah berpikiran sempit, karena kita punya 2 mata juga otak untuk berpandangan luas. Pandanglah kedepan seluas - luasnya. Maka, masalah yang anda hadapi akan terasa lebih mudah. (walaupun butuh pengorbanan). Sekali lagi,, janganlah menjadi Gelas..... Sumber : inmotivasi

Selasa, 14 Januari 2014

NABI KHIDIR DAN NABI ILYAS HIDUP SAMPAI HARI KIAMAT

Di dalam kitab “Al-Asror Rabbaniyyah wal Fuyudhatur Rahmaniyyah” karya Syeikh Ahmad Shawi Al-Maliki halaman 5 diterangkan yang artinya sebagai berikut: Telah berkata guru dari guru-guru kami,
Sayyid Mushtofa Al-Bakri: Telah berkata Al-’Ala’i di dalam kitab tafsirnya bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas as hidup kekal sampai hari kiamat. 

Nabi Khidir as berkeliling di sekitar lautan sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di lautan. Sedangkan, Nabi Ilyas berkeliling di sekitar gunung-gunung sambil memberi petunjuk kepada orang-orang yang tersesat di gunung-gunung. Inilah kebiasaan mereka di waktu siang hari. 

Sedangkan di waktu malam hari mereka berkumpul di bukit Ya’juj wa Ma’luj (يأجوج و مأجوج) sambil mereka menjaganya. Dan diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Khidir dan Nabi Ilyas berjumpa pada tiap-tiap tahun di Mina (Saudi Arabia). Mereka saling mencukur rambutnya secara bergantian. Kemudian mereka berpisah dengan mengucapkan kalimat:

بسم الله ما شاء الله لا يسوق الخير الا الله بسم الله ما شاء الله لا يصرف السو ء الا الله بسم الله ما شاء الله ما كان من نعمة فمن الله بسم الله ما شاء الله لا حول و لا قوة الا بالله 
Maka barangsiapa mengucapkan kalimat-kalimat ini pada waktu pagi dan sore hari, maka ia akan aman dari tenggelam, kebakaran, pencurian, syaitan, sultan, ular, dan kalajengking. 

Dan telah dikeluarkan oleh Ibnu ‘Asakir bahwa sesungguhnya Nabi Khidir dan Nabi Ilyas itu berpuasa Ramadhan di Baitul Maqdis (Palestina) dan mereka melakukan ibadah haji pada tiap-tiap tahun. Mereka minum air zamzam dengan sekali tegukan, yang mencukupkan mereka seperti minuman dari Kabil. 

Sebagian ulama menceritakan bahwa sesungguhnya Nabi Khidir itu putera Nabi Adam as yang diciptakan dari tulang iganya. Menurut segelintir kecil ulama lagi beliau putera Halqiya. Ada yang mengatakan putera Kabil bin Adam. Adapula yang mengatakan beliau itu cucunya Nabi Harun as, yaitu putera bibinya Iskandar Dzul Qarnain. Dan Perdana Menterinya benar-benar aneh mengatakan bahwa Nabi Khidir itu dari golongan malaikat. Sedangkan, menurut pendapat ulama yang paling shohih adalah bahwa Khidir itu adalah seorang Nabi. Menurut ulama jumhur beliau itu masih hidup dan beliau tidak akan pernah meninggal terkecuali pada hari kiamat apabila Al-Qur’an telah diangkat dan Dajjal telah membunuhnya. Kemudian, Allah menghidupkannya kembali. Sesungguhnya, beliau itu masa hidupnya panjang sekali. Karena, beliau meminum air kehidupan. 

http://zulfanioey.blogspot.com/2011/12/nabi-khidir-dan-nabi-ilyas-hidup-sampai.html

Tasawuf Dapat Meningkatkan Akhlak Mulia

Oleh Marsudi Fitro Wibowo*
"Dan barangsiapa yang menta'ati Allah dan Rasul(Nya), mereka itu akan bersama-sama dengan orang-orang yang dianugerahi ni'mat oleh Allah, yaitu: Nabi, para shiddiqqiin, orang-orang yang mati syahid dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya." (QS An-Nisaa': 69)

Bagi orang yang belum mengenal apa itu Ilmu Tasawuf atau sufi tentu akan merasa asing untuk keduanya, karena tidak tahu orang cendrung untuk menjauhi atau enggan untuk mempelajarinya bahkan sampai mengejeknya. Hal ini serupa dengan awal kedatangan Islam tempo dulu, sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW :

"Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing (orang-orang Islam)." (HR Muslim)

Kaum Sufi bukanlah sekelompok aliran bid'ah yang ajarannya masih saja diperdebatkan, namun dalam memahami Ilmu kesufian hati perlu benar-benar bersih dan jeli untuk menangkap doktrin-doktrin yang diajarkan dalam sufi itu sendiri dengan catatan tidak melenceng dari Islam. Tanpa didampingi ilmu sebagai manusia terlalu gampang untuk mencoreng, mencela dan berprasangka buruk terhadap sesama. Dalam sebuah hadits Nabi SAW bersabda, "Hati-hatilah kalian terhadap prasangka, karena sesungguhnya prasangka itu merupakan perkataan yang paling dusta." (HR Bukhari-Muslim)

Ilmu kesufian atau Ilmu Tasawuf adalah ilmu yang didasari oleh Al-Qur'an dan hadits dengan tujuan utamanya amar makruf nahi munkar. Sejak jaman sahabat Nabi SAW, tanda-tanda sufi dan ilmu kesufian sudah ada. Namun nama sufi dan ilmu tersebut belum muncul, sebagaimana ilmu-ilmu lain seperti Ilmu Hadits, Ilmu Kalam, Ilmu Tafsir, Ilmu Fiqh dan lain sebagainya. Barulah pada tahun 150 H atau abad ke-8 M Ilmu Sufi atau Ilmu Tasawuf ini berdiri sebagai ilmu yang berdiri sendiri yang bersifat kerohanian.

Kontribusi Ilmu Tasawuf ini banyak dibukukan oleh kalangan orang-orang sufi sendiri seperti Hasan Al-Bashri, Abu Hasyim Shufi Al-Kufi, Al-Hallaj bin Muhammad Al-Baidhawi, Sufyan ibn Sa'id Ats-Tsauri, Abu Sulaiman Ad-Darani, Abu Hafs Al-Haddad, Sahl At-Tustari, Al-Qusyairi, Ad-Dailami, Yusuf ibn Asybat, Basyir Al-Haris, As-Suhrawardi, Ain Qudhat Al-Hamadhani dan masih banyak yang lainnya hingga kini terus berkembang.

Dalam praktek realisasi ilmu sufi, khususnya tempo dulu, mutasawwif (orang sufi) memerlukan adaptasi yang amat sangat. Hal ini agar mampu untuk menarik orang-orang yang belum masuk muslim dengan jalan tanpa kekerasan dan paksaan, dengan kata lain berdakwah yang tidak keluar dari tujuan utama yang membuktikan akan cintanya kepada Maha Pencipta yakni Allah SWT.

Di sisi lain orang-orang sufi menjauhkan diri dari hal keduniaan yang dapat menghijab antara hamba-Nya dengan Allah SWT dalam beribadah. Di sinilah Sufi mulai mengembangkan metode-metode bagaimana cara untuk membersihkan jiwa, pembinaan lahir batin, berdzikir, mendekatkan diri pada Allah, membangun jiwa mulia dalam mengenal Allah atau berma'rifat. Selain itu berintrospeksi diri, siapa diri ini sebenarnya, sesuai dengan hadits Nabi SAW, "Man 'arafa nafsahu faqad 'arafa Rabbahu, (Barang siapa yang mengenal dirinya, maka ia akan mengenal Tuhannya)."

Jelas bahwa Ilmu Tasawuf dan sufi adalah merupakan salah satu ilmu dalam Agama Islam yang sangat halus dan mendalam yang mampu menembus alam batin serta sulit sekali untuk diilmiahkan dan diterangkan secara konkret. Hal ini bukan berarti tidak dapat dibuktikan secara ilmiah namun seseorang yang memiliki kebersihan hati dan kecerdasan yang luar biasa yang mampu mecahkannya. Sebab "Al-Islaamu 'ilmiyyun wa 'amaliyyun, (Islam adalah ilmiah dan amaliah)" (HR Bukhari) 

Karena halusnya ilmu ini, persoalan-persoalan di dalamnya bagi orang awam dapat menimbulkan khilafiyah (perbedaan) dan pertentangan-pertentangan. Tapi inilah keindahan Islam, berlomba dalam kebaikan selama tidak menyimpang dari aturan Islam.

Dalam kitab Ta'yad Al-Haqiqtul 'Aliyya hal. 57, salah seorang ulama fiqh dan ahli tafsir, Jalaluddin As-Suyuthi berkata, "Tasawuf dalam diri mereka adalah ilmu yang paling baik dan terpuji. Dia menjelaskan bagaimana mengikuti sunnah Nabi dan meninggalkan bid'ah."

Sedangkan Al-Junaid, seorang pimpinan tokoh sufi mazhab moderat yang berasal dari Baghdad, menyatakan tentang ilmu kesufian dalam syairnya, "Ilmu sufi (tasawuf) adalah benar-benar ilmu, yang tidak seorang pun dapat memperolehnya, kecuali dia yang dikarunia kecerdasan alami, dan berbakat untuk memahaminya. Tak seorang pun dapat berpura menjadi sufi, kecuali dia yang melihat rahasia nuraninya."

Ilmu Tasawuf dan sufi adakalanya orang mencap sebagai ilmu kolot, ketinggalan jaman, usang, bahkan disebut aneh. Akan tetapi di balik itu semua bahwa Ilmu Tasawuf memiliki kekuatan yang sungguh luar biasa untuk lebih mengenal Tuhan serta membangun mental dan akhlak yang mulia. Yang perlu diperhatikan kenapa orang dapat menjadi sesat dan madlarat dalam mempelajari dan mengamalkan Ilmu Tasawuf. Sehingga ia menjadi orang yang apatis atau mengasingkan diri dari pergaulan masyarakat dan keluarga, meninggalkan keduniaan yang padahal di dunia ini adalah sebagai ladang amal dalam berbuat kebajikan untuk bekal di hari kemudian. Hal demikian dapat terjadi kesesatan pada diri seseorang dengan mempelajari ilmu Tasawuf tetapi tanpa didampingi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) dan Ilmu Fiqh.

Menurut Imam Malik (94-179 H/716-795 M)"Man tassawaffa wa lam yatafaqah faqad tazandaqa, wa man tafaqaha wa lam yatsawwaf faqad fasadat, wa man tafaqaha wa tassawafa faqad tahaqqaq, (Barangsiapa mempelajari/mengamalkan tasawuf tanpa fiqh maka dia telah zindik, dan barangsiapa mempelajari fiqh tanpa tasawuf dia tersesat, dan siapa yang mempelari tasawuf dan fiqh dia meraih kebenaran)." Dengan demikian bahwa Ilmu Tasawuf dan Ilmu Fiqh umpama dua jemari yang tak dapat dipisahkan, dan tidak untuk diabaikan dimana keduanya sama-sama penting suatu perpaduan antara akal dan hati.

Jadi dengan Ilmu Kalam (Ushuluddin) atau Ilmu Tauhid, bahwa Allah SWT itu ada dan memercayainya sebagai Tuhan yang wajib disembah. Ilmu Kalam ini adalah Ilmu pokok-pokok kepercayaan dalam agama Islam. Selain itu pula untuk menghindari dari kemusyrikan serta memperkuat akan tauhidullah sebagai esensi akidah Islam. Ilmu Fiqh, pemahaman tentang syariat-syariat Islam berdasarkan Al-Qur'an dan as-Sunnah yang merupakan lautan ilmu yang meluas secara horizontal. Sedangkan dalam Ilmu Tasawuf adalah mengatur kesempurnaan hubungan dengan Allah dan juga sebagai ilmu yang mampu menembus vertikal kedalam. Dengan mempelajari ketiganya maka akan kuatlah Iman, Islam dan Ihsan kita yang merupakan kesempurnaan dalam Islam, sebagai wujud mempelajari Ilmu Tauhid, Fiqh dan Tasawuf.

Cintanya orang orang-orang Sufi terhadap Tuhan, bagi mereka adalah suatu kenikmatan tersendiri dalam bertasawuf, cara ini mampu membersihkan jiwa akan penyakit-penyakit hati (bathiniyah). Tapi penyelewengan dalam dunia sufi pun dapat saja terjadi seperti halnya Al-Hallaj yang mengakuinya dirinya sebagai Allah, dengan teorinya wahdat al-wujud atau pantheisme (Penyatuan Wujud) dan teori Al-Hulul atau penitisan (penjelmaan Tuhan dalam diri Manusia).

Perkataan dan perbuatan Al-Hallaj ini membuat marah para ahli Kalam (Tauhid), Fiqh dan masyarakat Islam, sehingga ia di hukum mati pada tahun 309 H. Di Indonesia dulu terjadi penyimpangan oleh seorang waliyullah yaitu Syeikh Siti Jenar yang mirip dengan teori Al-Hallaj, ia di hukum mati oleh mahkamah para wali di Jawa. Namun hanya Allah-lah Yang Maha Tahu akan maksud dan hati seseorang.

Keunggulan umat Islam salah satunya adalah Ilmu Tasawuf ini. Dengan bertasawuf yang merupakan suatu kekuatan batin untuk mempertebal iman, tauhid, ladang amal, pembersih jiwa, serta untuk memperkuat Ihsan suatu cara untuk lebih mengenal Allah dan mencari keridhaan-Nya semata maka secara otomatis akan meningkatkan akhlakul karimah (akhlak yang mulia).

Menurut Prof DR Hamka, tasawuf Islam telah timbul sejak timbulnya agama Islam itu sendiri. Bertumbuh di dalam jiwa pendiri Islam itu sendiri yaitu Nabi Muhammad Saw. Disauk airnya dari Qur'an sendiri. (Perkembangan Tasawuf dari Abad ke Abad).

Adapun ciri sufi menurut Imam Nawawi (620-676 H/1223-1278 M) dalam risalahnya Al-Maqasid At-Tawhid ada lima, yaitu: 

(1) menjaga kehadiran Allah dalam hati pada waktu ramai dan sendiri, 
(2) mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan perbuatan dan kata, (3) menghindari ketergantungan kepada orang lain, (4) bersyukur pada pemberian Allah meski sedikit, (5) selalu merujuk masalah kepada Allah SWT.
Oleh karena itu, Ilmu Tasawuf khususnya di Indonesia, haruslah mendapat perhatian penuh dari para alim ulama, sarjana, dan para cendekiawan Muslim lainnya untuk diselidiki dan dikupas secara luas, agar dapat menciptakan mental yang islami dan pemahaman spriritual Islam yang jauh dari sifat-sifat tercela dan munafik. Wallahua'lam.


* Penulis adalah Alumni Universitas Langlangbuana Bandung (Yayasan Brata Bhakti POLRI Jawa Barat).


http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/tasawuf/11/06/20/ln3f05-tasawuf-dapat-meningkatkan-akhlak-mulia

Perlunya kita memahami ilmu Tasawuf (sarana kembali kepada Allah)

Perlunya kita memahami ilmu Tasawuf (sarana kembali kepada Allah)

Sesungguhnya, kita sejak bayi dalam kandungan Ibu, dalam keadaan bersih dan suci, telah bersaksi “sebenar-benarnya” bersaksi bahwa La ilaha illallah , tiada tuhan selain Allah. Kesaksian ketika kita dalam kandunagn Ibu,  sebagaimana firman Allah yang artinya

“Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (QS- Al A’raf 7:172)

Setelah anak manusia terlahir ke dunia,  keluarga adalah lingkungan pertama yang dikenal oleh anak. Ibu dan ayah adalah manusia-manusia dewasa kepada siapa anak belajar kata-kata yang pertama. Khususnya kepada Ibu, anak belajar kasih sayang. Kepada ayah, anak belajar tanggung jawab dan kepemimpinan. Bagaimana sikap ibu dan ayah kepada anak, sikap ayah kepada ibu dan sebaliknya ibu kepada ayah, adalah pola interaksi yang pertama dipelajari anak.

Dengan telinga dan matanya, anak belajar menyerap fakta dan informasi. Semakin banyak yang terekam, itulah yang paling mudah ditirunya. Bagaikan kertas putih bersih, orang tuanya yang akan memberinya coretan dan warna yang pertama. Betapapun sederhananya pola pendidikan dalam sebuah keluarga, tetap-lah sangat berpengaruh pada pembentukan kepribadian anak. Keluarga merupakan awal bagi pertumbuhan pola pikir dan perasaan anak.

Untuk itu bagi kita yang telah menjadi orang tua, dalam mendidik anak, sebaiknya selalu berharap atau memohon pertolonganNya karena segala sesuatu atas kehendakNya. Kita hanya menjalankan keinginanNya. Janganlah dengan hawa nafsu kita, memberikan “coretan” pada “kertas putih” anak kita. Kesadaran dan selalu mengingat Allah setiap saat dalam kehidupan kita dunia mutlak kita hadirkan agar segala perbuatan kita sesuai dengan kehendakNya.

Setelah kita mencapai akil balik dengan segenap ilmu yang telah kita pelajari dan pahami, baik dari pengajaran orang tua, guru dan lingkungan beserta karunia Allah akan pemahaman Al-Qur’an dan Hadits, kita “memulai” mengarungi kehidupan dunia. Kemanakah tujuan arungan kehidupan kita ?

Sebagaimana keinginan Allah yang disampaikan dalam firmanNya yang artinya,

“Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan agar mereka beribadah kepada-Ku” (Az Zariyat : 56)

“Beribadahlah kepada Tuhanmu sampai kematian menjemputmu” (al Hijr: 99)

Arungan kehidupan kita di dunia sesungguhnya adalah menuju kepada Allah, selalu sadar dan yakin akan keberadaan Allah,  selalu mengingat Allah, sepanjang kehidupan kita di dunia sampai kematian menjemput kita.

Sehingga kita bisa bersaksi kepada Allah yang Maha Esa dalam sebenar-benarnya “bersaksi” sebagaimana kita dalam kandungan Ibu dahulu. Sayangnya setelah bayi dan kita tumbuh dewasa, kita tidak dapat mengingat perjalanan ketika berada dalam kandungan rahim ibu. Oleh karena itu Islam mengajarkan agar setiap umatnya kembali menjadi seperti bayi dalam kandungan,agar dirinya dapat kembali menemui Allah.

“Dan sesungguhnya kamu kembali menghadap Kami dengan sendirian seperti kamu Kami ciptakan pada awal mula kejadian. Dan pada aat itu kamu tinggalkan dibelakangmu apa yang telah Kami anugerahkan kepadamu ….” (QS Al An’am 6: 94)

“Mereka dihadapkan kepada Tuhanmu dengan berbaris, Kemudian Allah berfirman: “ Sesungguhnya kamu datang kepada Kami sebagaimana Kami telah menciptakan kamu pada awal mula kejadian, bahkan kamu menyangka bahwa Kami tiada menetapkan janji bagi kamu” (QS Al Kahfi 18:48).

Dengan segenap ilmu dan pemahaman yang kita peroleh, kembalilah kepada Allah. Kembali pada sisi Allah yang sebaik-baiknya.

Firman Allah yang artinya,
[38:46] Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat.[38:47] Dan sesungguhnya mereka pada sisi Kami benar-benar termasuk orang-orang pilihan yang paling baik. (QS Shaad [38]:46-47)

Sekali-lagi saya mengingatkan saya pribadi dan pembaca sekalian. sebaiknya kita tidak bergantung pada ilmu dan pemahaman, semua itu hanyalah sarana, bergantunglah hanya pada Allah. Semakin dalam ilmu dan pemahaman yang kita peroleh maka semakin tertunduk kita kepada Allah dan pada satu titik nanti, InsyaAllah kita akan “lebur” karena kita akan syahid yakni sebenar-benar bersaksi kepada Allah yang Maha Esa.

Sesungguhnya karunia Allah akan pemahaman tentang ma’rifatullah bisa kita lalui  jika mendalami ilmu Tasawuf.

Merugilah mereka yang menolak memahami ilmu Tasawuf.


Narasumber

TAWEKAL DINA MUSIBAH

TAWEKAL DINA MUSIBAH

(Intisari Wejangan Pangersa Abah Anom dina manaqiban
11 Rayagung 1410 H / 4 Juli 1990 M)


. Meunang bagja teh alatan tina hasil musibah, ujian jeung cobaan.

. Ibadah teh keur diri sorangan, lain keur batur.

. Nalika keur meunang cobaan, kudu ngalobakeun maca la ilaha illa angta subhanaka inni kungtu minadzh-dzholimin.
Jeung dina macana kudu dipahami, dihayati jeung diresapi.

. Keur nga"aya"keun kabagjaan kudu ngaayakeun heula karumasaan.

. Ari keur datang rurupek jeung kasusah teh kudu loba ngajerit ka Pangeran.

. Mun rumasa teh kudu ised.

. Cik atuh peuting teh dipake ibadah, dipake isro, dipake lumampah ka Pangeran, ngalobakeun maca istighfar, dzikir jeung khotaman. Pabeberang dipake nembongkeun kahadean ka sasama.

. Bisana urang lumampah kana jalan kahadean alatan ku ayana urang jempling pikiran.

. Dina nembongkeun kahadean geus jadi kapastian aya gogodana anu datang ti hareup, ti katuhu jeung ti kenca, mangka kudu teguh.

. Ulah sok daek ngalayanan nu rek ngahalangan kana kahadean, komo mun ngahajakeun neangan layan.

. Sababna sok daek ngalayanan kana naon rupa nu ngahalangan dina jalan kahadean teh alatan urang teu bener-bener dina dzikirna.

. Dzikir anu bisa nyingkahkeun kana hahalang teh nyaeta dzikir anu dibentengkeun, lain ngan sakadar diucapkeun.

. Kudu ngarasa teu ngenah lamun urang can bisa ngalaksanakeun kawajiban.

. Tapi sanajan urang rumasa hengker, ngan kakara bisa ngalakonan ibadah nu saeutik ulah leutik hate, laksanakeun we sakumaha kamampuhan bari saeutik-saeutik ditingkatkeun amalannana, ulah ngarasa bosen.

. Dina dzikir nu kudu pisan diperhatikeun teh eusina, nyaeta elingna hate kana Asma Pangeranna.

. Keur datang musibah urang teh kudu sabar, sarta di mana datang nikmat kudu syukur.

. Dunya teh tempat keur melak, melakkeun kahadean ku tutulung, melakkeun solat, sedekah, dzikir jeung sajabana.

. Dina berjamaah dzikir ulah sakadaekna, tapi kudu sarua jeung batur, rempeg, ampeg, ulah patonjol-tonjol ngagokkan batur, nu diarah teh di jero ingetan urang, nyaeta ingetna hate eling ka Pangeran.. Di mana-mana mun dzikirna ngentrung eta cirina kosong. Mun ngabepbep eta cirina ngeusi.

. Tembuskeun dzikir tina ucap kana ati, tina ati kana rasa, tina rasa kana mesra, tina mesra kana cinta, tina cinta kana pasrah sumerah ka Pangeran.

. Ngaaya-ayakeun dzikir dina hate eta matak nyingkirkeun sifat munapek.

. Keur naon bae, utamana mun keur leumpang kudu ngarasa-rasa hate dzikir ka Allah.

Yang Pantas Disebut Pendzikir

ORANG YANG PANTAS DISEBUT PENDZIKIR

Yang Mulia Guru dengan hatinya yang selalu berdzikir kepada Allah berkata :

مَنْ كَانَ ذَاكِرَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ بِقَلْبِهِ فَهُوَ الذَّاكِرُ, وَ مَنْ لَمْ يَذْكُرْهُ بِقَلبِهِ فَلَيْسَ بِذَاكِرِِ. اللِّسَانُ غُلاَمُ الْقَلْبِ وَتَبِعَ لَهُ.

"Siapa yang berdzikir kepada Allah 'Azza Wajalla dengan hatinya, maka dia sedang berdzikir. Akan tetapi siapa yang tidak berdzikir kepada Allah dengan hatinya, maka dia tidak sedang berdzikir".

(Miftahush Shudur zuz 2 fasal 6)

Dzikir Adalah Segalanya

DZIKIR ADALAH SEGALANYA

Telah berkata Syekh Yang Dermawan :

اِعْلَمْ أَنَّ طَرِيْقَ شَيْخِنَا رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ طَرِيْقُ الذِّكْرِ فَقَطْ وَلَيْسَ غَيْرَهُ يَعْنِيْ ذِكْرَ اللِّسَانِ وَالْجِنَانِ فَفِيْهِ الْفَتْحُ وَفِيِهِ الطَّلَبُ وَفِيْهِ قَضَاءُ الْحَوَائِجِ وَهُوَ مِنْهُ وَإِلَيْهِ وَبِهِ كُلُّ شَيْءِِ

"Ketahuilah, bahwa tarekat guru kita r.a. adalah tarekat dzikir saja, bukan yang lain, yaitu dzikir lisan dan hati, maka dengan dzikir itu terbukalah pintu, tercapainya tujuan, terpenuhinya keinginan, dan dari dzikir, juga kepada dzikir, dan dengan dzikir itu pula terwujudnya segala sesuatu".

Dikatakannya pula :

فَإِذَ أَمَرْتُكَ بِشَيْءِِ غَيْرِهِ فَاضْرِبْ صَفْحََا وَالتَّبِعِ الذِّكرَ

"Bila aku (Syekh Ahmad Shohibul Wafa Tajul Arifin ra) menyuruh kalian kepada sesuatu selain kepada dzikir, maka abaikanlah, dan ikuti (perintahku dalam perkara) berdzikir".

(Miftahush Shudur zuz 2 fasal 5)

Diberdayakan oleh Blogger.